Dibombardir Israel, Startup Teknologi Asal Palestina Terancam Punah

Perkembangan teknologi di Palestina mungkin jauh dibandingkan oleh Israel, tapi bukan berarti tidak ada teknologi di Palestina. Sayangnya, serangan Israel ke Gaza ikut membawa kehancuran industri teknologi atau startup yang baru berkembang di Gaza.

Gaza, meski jadi wilayah paling terkendala secara ekonomi di dunia, namun menjadi pusat teknologi. Tidak hanya bagi Palestina dan rakyat Palestina, namun juga bagi dunia.

Perusahaan-perusahaan internasional, dalam kurun waktu bertahun-tahun, sudah hadir untuk berkolaborasi dengan pekerja lepas teknologi berbakat dan startup yang muncul secara bertahap dari wilayah ini.

Nvidia, contohnya, telah memperkerjakan setidaknya 100 insinyur dari wilayah tersebut selama bertahun-tahun. Disebutkan bahwa startup teknologi di Gaza berkembang sejak 2008 silam untuk melayani klien internasional. Bahkan, Silicon Valley juga menaruh minat terhadap Palestina sebagai pusat teknologi.

Pada 2017, pendiri dan CEO Salesforce, Marc Benioff bergabung dengan tokoh-tokoh Silicon Valley dalam mendukung akademi coding pertama yang didirikan di Gaza. Lalu ada Gaza Sky Geeks, inisiatif yang didukung oleh induk Google, Alphabet, yang berbasis di Gaza yang berperan untuk menyediakan investasi awal, pelatihan, dan sumber daya teknologi bagi penduduk Gaza di Palestina.

Sayangnya, semua hal itu kini sirna, seperti halnya bangunan di Gaza itu sendiri. Terutama setelah serangan brutal Israel belum lama ini yang menewaskan lebih dari 1.500 orang.

“Apa yang terjadi pada teknologi di Gaza adalah bahwa Israel sedang menghancurkannya. Melenyapkannya,” kata salah satu sumber di wilayah Gaza.

Ryan Sturgill, warga negara Amerika dan mantan kepala akselerator Gaza Sky Geeks (GSG) yang dijalankan oleh organisasi LSM Mercy Corps menyebutkan tentang situasi di lapangan yang mengerikan. Utamanya setelah gelombang penembakan yang dilakukan oleh militer Israel.

Gaza Sky Geeks adalah pusat teknologi terbesar di Palestina dan menyediakan berbagai pelatihan teknologi dalam skala besar. Pada 2022, setidaknya 5.000 developer dan pengembang dari seluruh Tepi Barat dan Gaza lulus dari program ini.

“Tidak ada yang tahu apa yang akan terjadi di kemudian hari. Sekarang kantor-kantor hancur, jalur fiber hancur. Universitas-universitas hancur. Tiga universitas utama di Gaza yang menghasilkan seluruh lulusan ilmu komputer disejajarkan. Saya bahkan tidak tahu apakah orang-orang akan dapat kembali ke Gaza Utara setelah apa yang terjadi saat ini. Institusi pendidikan yang ada di sana telah hilang,” ujar Ryan.

“Area di sekitar gedung Mercy Corps, yang menampung Gaza Sky Geeks, telah diratakan. Strukturnya berdiri tetapi hancur. Bagian depannya agak sobek,” imbuhnya.

Menurut Ryan, pertumbuhan industri teknologi di Palestina sebenarnya mulai bergerak maju dan tumbuh signifikan.

“Banyak perusahaan Arab Saudi mendirikan kantor pusat (di Palestina) untuk pengembangan semua jenis perusahaan baru. Nvidia, dan perusahaan internasional lainnya, memiliki operasi outsourcing di Palestina. Apple memiliki operasi outsourcing, Microsoft memiliki penelitian dan pengembangan, dan mereka bahkan ingin hal tersebut diperluas. Ada perusahaan yang memiliki 200 pengembang yang berkantor di Ramallah,” katanya.

Perusahaan dengan pertumbuhan tinggi yang muncul dari Palestina termasuk Mena Analytics (analisis data, yang diinvestasikan oleh Flat6Labs); Olivery (logistik mil terakhir, Flat6Labs, Gaza Sky Geeks Ibtikar Fund); Coretava (loyalitas karyawan dan pelanggan); dan SellEnvo (mitra pemenuhan Amazon). Ryan juga mengatakan selain kondisi yang sangat sulit di Gaza, yang dilanda rudal Israel, situasi di Ramallah sangat tegang.

“Saya merasa situasinya akan menjadi jauh lebih buruk di sana dalam beberapa minggu mendatang,” bebernya.

Iliana Montauk, salah satu pendiri dan CEO Manara menceritakan bahwa konektivitas telah menurun secara signifikan dalam 24 jam terakhir. Mandara didanai oleh Y Combinator, Seedcamp, Reid Hoffman, Eric Ries, Marc Benioff, Paul Graham, dan Jessica Livingston.

“Meskipun Gaza telah dibom berkali-kali sebelumnya, kali ini sangat berbeda bagi sektor teknologi karena beberapa alasan. Listrik padam di seluruh jalur (Gaza). Sejumlah besar infrastruktur telah dibom (termasuk ISP dan banyak gedung apartemen tinggi yang memiliki menara telepon seluler). Seluruh lingkungan kelas menengah dihancurkan,” ujar Iliana.

Iliana mengatakan di masa lalu jika seluruh lingkungan hancur, biasanya wilayah tersebut berbatasan dengan Israel dan wilayah yang lebih miskin, sehingga berdampak lebih kecil pada sektor teknologi. Sektor teknologi hampir sepenuhnya tidak dapat berfungsi di Gaza saat ini,” katanya.

Menurut Iliana, banyak karyawannya tidak bisa bekerja. Beberapa telah mengungsi tiga kali dalam 24 jam terakhir, berpindah dari rumah teman ke rumah keluarga, karena setiap lingkungan tempat mereka tinggal adalah lingkungan yang akan dibom ceritanya.

“Kebanyakan orang telah kehilangan koneksi ponsel dan akses internet sepenuhnya, atau hanya memiliki akses ke 2G di ponsel mereka. Listrik tidak lagi tersedia bahkan untuk beberapa jam sehari, dan masyarakat kehabisan bahan bakar untuk generator mereka,” tambahnya.

Manara kini memiliki sekitar 100 insinyur perangkat lunak di Gaza, beberapa di antaranya bekerja jarak jauh untuk perusahaan teknologi di SiliconValley/Eropa. (AA)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *